MENELISIK DAERAH IRIGASI TOILI DAN MOILONG KABUPATEN BANGGAI PROVINSI SULAWESI TENGAH

Pada era tahun tujuh puluhan Pemerintah Indonesia telah menempatkan ratusan bahkan ribuan penduduk sebagai transmigrasi di areal subur di dataran Toili dengan beberapa unit transmigrasinya yang salah satunya kita kenal saat ini daerah Moilong dan daerah Toili Kabupaten Luwuk Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah.

Areal ini dibelah oleh satu sungai yang cukup besar yaitu sungai Mansahan.  Harapan kecerahan kehidupan di areal ini saat itu mulai terlihat mengingat masyarakat transmigrasi merasakan kesuburan tanah diareal itu ketika mereka mulai menggarap lahan menjadi pertanian. Air sungai dengan debit yang cukup besar dapat menjanjikan kelanggengan usaha pertanian kedepannya.

Dengan potensi yang sangat baik ini maka pemerintah Indonesia mulai memasukkan program-program terpadu melalui dana program IFAD (International Fund For Agricultural Development) dengan pendanaan yang bersumber dari Luar Negeri (masuk dalam program APBN saat itu)

Dengan program ini, maka  pada tahun delapan puluhan mulailah dibangun fasilitas irigasi yaitu Free Intake Irigasi  Moilong lengkap dengan jaringan irigasinya yang dapat mengairi sawah seluas 1010 Ha dimana pada saat itu jaminan ketersediaan air saat musim hujan maupun musim kemarau sangat baik dan belum ada akses-akses negatif yang terjadi pada musim hujan karena catchment area atau daerah tangkapan air masih sangat baik yang ditumbuhi oleh vegetasi hutan primer.

Free intake Irigasi Moilong

Kwalitas airnya pun secara kasat mata (secara awam) dapat dikatakan cukup baik karena air sungainya cukup jernih dan tidak membawa banyak sedimen dari hulu walaupun pada musim hujan terkadang terjadi loncatan debit yang cukup tinggi. Dengan demikian daerah irigasi Moilong  dapat berfungsi dengan baik dan petani di sana cukup merasakan kenaikan pendapatan karena mayoritas menggantungkan kehidupannya dari kegiatan bertani. Pemanfaatan air sungai Mansahan untuk daerah Irigasi Moilong saat itu hanya sebagian saja sehingga masih banyak air mengalir ke hilir setelah diambil melalui free intake Moilong.

Beberapa meter di bagian hilir free intake irigasi Moilong ini ternyata profil sungainya bercabang dua yaitu satu ke arah Toili dan satu lagi menerus ke Mansahan. Karena debit sungai masih cukup besar (setelah diambil untuk irigasi Moilong) maka sekitar tahun 1982 pemerintah memanfaatkan lagi sisa air di hilir irigasi Moilong untuk keperluan irigasi yang lain yaitu hamparan Toili (Unit 2)

Pembangunan daerah irigasi Toili ini dimulai dengan membuat bendung permanen berupa bendung tipe gergaji yang kemudian dimanfaatkan untuk mengairi kurang lebih 2412 Ha sawah. Pembangunan Bendung serta jaringan irigasinya saat itu didanai oleh  dana APBN (Pinjaman Luar Negeri) melalui program IFAD.


Bendung Irigasi Toili

Saat itu jaminan ketersediaan air pada musin kemarau dan musim hujan cukup baik untuk melayani kedua daerah irigasi ini dengan memanfaatkan satu sungai besar yaitu sungai Mansahan. Seiring dengan dibangunnya irigasi Toili di hilir irigasi Moilong, maka mulai dipikirkan pengamanan irigasi Toili ini dari kemungkinan banjir luapan pada saat musim hujan.

Maka oleh sebab itu dibangunlah suatu infrastruktur untuk membuang kelebihan air ke arah laut melalui cabang sungai Mansahan.  Infrastruktur tersebut kita kenal dengan BIFURKASI  yang bertujuan bahwa saat musim hujan dengan debit air sungai yang besar maka air sebagian akan melimpah ke arah cabang sungai Mansahan sehingga dapat mengamankan bendung gergaji di sungai Toili.

Bangunan Bifurkasi (Pengendali banjir) yang sudah rusak akibat banjir sekitar tahun 2000

Bangunan bifurkasi ini telah berfungsi cukup baik di awal-awal pemanfaatannya hingga mencapai puluhan tahun walaupun dengan beberapa kali perbaikan karena dirusak oleh berubahnya besaran debit banjir.

Seiring berjalannya waktu dan semakin berubahnya (lebih ekstrim) sifat-sifat sungai Mansahan, baik debit banjirnya maupun angkutan sedimennya maka pada banjir tahun 2000 bangunan bifurkasi ini rusak dan terluluh lantakan oleh besarnya banjir bandang yang terjadi saat itu.

Dengan demikian maka sejak saat itu pengaturan debit sungai Mansahan tidak dapat terkontrol dan terarah lagi secara baik untuk dimanfaatkan di irigasi Toili maupun pengontrolan banjir di sungai Mansahan yang sudah mulai mengancam permukiman

Mengapa perilaku sungai Mansahan berubah drastis?

Pemanfaatan sungai Mansahan untuk dua pengambilan daerah Irigasi di dataran Toili ini pada saat itu cukup optimis mengingat luas catchment area (DAS) sungai Mansahan sampai ke titik pengambilan air adalah seluas 191 km2 dengan tutupan lahan bervegetasi mayoritas hutan primer.

Cathment area (DAS) Irigasi Moilong dan Toili

Seiring berjalannya waktu, maka beberapa masa setelah pembangunan daerah irigasi ini kegiatan korporasi dengan skala yang relatif besar mulai ada dalam daerah tangkapan air (DAS) yaitu dimulai dengan penebangan hutan untuk memanfaatkan lahannya menjadi areal perkebunan coklat oleh salah satu perusahaan Nasional yang cukup terkenal.  Kemudian beberapa tahun berikutnya terjadi lagi kegiatan yang hampir sama di daerah DAS tersebut dengan membabat hutan-hutan primer dan memanfaatkan lahannya menjadi areal perkebunan sawit baik oleh koorporasi maupun oleh perorangan bermodal besar. Walau demikian, selama 2 – 5 tahun berikutnya sepintas baru terlihat sedikit pengaruhnya terhadap performance (kinerja) sungai Mansahan, dimana terkadang pada musim kemarau terlihat airnya mulai berkurang dan pada musim hujan terlihat debit air yang membesar dan mulai mengganggu kinerja daerah irigasi.

Namun demikian ternyata kegiatan perambahan/penebangan hutan di dalam area DAS sungai Mansahan ini tetap terjadi untuk dimanfaatkan lahannya bagi perkebunan sawit. Kondisi sungai setelah penebangan hutan puluhan tahun lalu dan ditambah lagi penebangan-penebangan berikutnya hingga saat ini membuat perilaku sungai Mansahan berubah drastis dan seolah-olah menjadi monster yang siap meluluh lantakkan segala sesuatu yang dilaluinya.

Sungai Mansahan saat ini tidak lagi sungai yang ramah terhadap kehidupan manusia sekitarnya.  Semakin hari perilakunya semakin berubah dan membahayakan.  Sebagai contoh pada tahun 2019 dan 2020 yang lalu banjir bandang di sungai ini telah menggenangi permukiman sekitar Moilong dan Toili dan bahkan sudah menghanyutkan dan merusak fasilitas-fasilitas yang ada di masyarakat, baik itu milik umum seperti jalan dan sarana umum lainnya maupun milik perorangan seperti kerusakan rumah dan hilangnya ternak.

Banjir Sungai Mansahan pada tahun 2020 yang mengakibatkan kerugian masyarakat

Demikian juga halnya pada musim kemarau, debit sungai yang sangat kecil mengakibatkan sulitnya memenuhi kebutuhan air secara menyeluruh baik di Irigasi Moilong (karena sulit masuk ke free intake) maupun di Bendung Toili karena tidak ada lagi air yang limpas bendung. Dengan kata lain terjadi perbedaan ekstrim atau fluktuasi yang ekstrim terhadap debit dimusim hujan dan musim kemarau. 

Disamping itu besarnya angkutan sedimen yang terbawa dari hulu pada saat musim hujan membuat banjir sungainya menjadi banjir bandang yang sangat membahayakan.  Angkutan sedimen tersebut menumpuk pada alur-alur sungai setelah banjir menurun yang selanjutnya merubah penampang sungai serta mengakibatkan banyaknya sedimen yang masuk ke dalam saluran irigasi.  Penumpukan sedimen dialur sungai membuat kapasitas sungai menjadi kecil yang pada akhirnya mengakibatkan penyebaran banjir kepermukiman.

Jadi pada saat musim kering, terjadi kekurangan air untuk irigasi dan pada saat musin penghujan terjadi kelebihan air yang ekstrim yang mengancam persawahan dan permukiman disekitar sungai Mansahan.

Sungai Mansahan pada saat musim kering (sangat sedikit air untuk dimanfaatkan daerah irigasi).

Hal tersebut secara logika sederhana dapat diterangkan sebagai berikut :

Pada tahun 70an ketika penempatan transmigrasi dan pembangunan infrastruktur pendukungnya dilakukan, vegetasi dihulu sungai Mansahan adalah hutan-hutan primer dengan luasan ± 191km2  dengan panjang sungai ± 166 km, serta lahan di dalam DAS tersebut masih terdiri dari material yang solid.  Dengan kondisi tersebut, maka koefisien run off (C) pada DAS tersebut diperkirakan masih C = ± 0,11 – 0,15 atau secara kasar diperkirakan hanya ± 15 % saja air hujan yang langsung mengalir dipermukaan sampai ke sungai, sedangkan ± 85 % meresap masuk ke dalam tanah menjadi cadangan air yang nantinya akan mengalir secara perlahan dan mengumpul menjadi aliran sungai pada saat musim kemarau.  Debit run off didekati dengan rumus rasional :

                                               Q    =     CIA

                                               Q    =     Debit run off

                                               I      =     Intensitas hujan

                                               A    =     Luas DAS (Catchment Area)

                                               C    =     Koefisien run off

Dengan intensitas hujan yang sama misalnya, maka debit run off akan sangat dipengaruhi oleh koefisien run off (C), sedangkan koefisien C sangat tergantung dari tutupan lahan pada kondisi kemiringan lereng yang sama.  Dengan kata lain makin gundul tutupan lahan di daerah DAS maka makin besar nilai C yang selanjutnya mengakibatkan mayoritas tumpahan air hujan langsung mengalir ke permukaan dan berkumpul di sungai menjadi banjir besar.

Sebaliknya bahwa koefisien run off yang besar membuat tumpahan air hujan yang meresap ke tanah menjadi sangat kecil yang pada akhirnya mengakibatkan debit sungai menjadi sangat kecil pada musim kemarau.

Kondisi saat ini dimana tutupan lahan sangat jauh berubah dibanding dengan tahun 70an atau 80an maka koefisien runoff diperkirakan sudah naik menjadi  C = ± 0,3 – 0,35.

Perubahan tutupan lahan di daerah aliran sungai (DAS) Mansahan ini juga secara perlahan tapi pasti merubah perilaku terhadap angkutan sedimen karena besaran erosi di daerah DAS akan makin membesar dan terbawa ke dalam aliran air sungai Mansahan.

Perubahan ini akan terjadi terus sepanjang waktu jika vegetasi di daerah DAS masih tetap diexploitasi dengan kegiatan-kegiatan usaha yang secara drastis dapat merubah lingkungan.  Apabila hal ini tetap dibiarkan terjadi maka kita tinggal menunggu saatnya Irigasi Moilong dan Irigasi Toili akan hanya menjadi kenangan yang hanya indah pada cerita lalunya

Apa yang harus dilakukan ?

Setelah menyadari hal-hal di atas dan terbersit dibenak kita untuk sekedar mempertahankan keberadaan Irigasi Moilong dan Irigasi Toili sebagai salah satu sumber utama kehidupan masyarakat disana, maka ada beberapa hal yang mungkin masih bisa dilakukan sebelum semuanya menjadi fatal.

Beberapa hal yang perlu dilakukan antara lain :

  1. Pemerintah harus secara tegas membuat kebijakan publik yang menghentikan penebangan hutan yang masih tersisa saat ini. Kebijakan ini harus diawasi secara tegas.
  2. Membangun infrastruktur sabodam sebagai penangkap sedimen di daerah hulu secara seri untuk 2 atau 3 sabodam.
  3. Membangun kembali Bifurkasi di percabangan sungai Mansahan dan Toili.
  4. Membangun ground sill di sungai dekat free intake Irigasi Moilong

Langkah-langkah tersebut diharapkan setidaknya dapat memberi pengharapan yang lebih langgeng bagi masyarakat petani di daerah Moilong dan Toili untuk tetap dapat menggantungkan kelangsungan hidupnya dari lahan pertanian beririgasi di kedua daerah irigasi tersebut.

| Pemerhati Sumber Daya Air | Ir. Saliman Simanjuntak, Dipl. HE

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *